Rabu, 30 April 2014

Mahfud MD Pemimpinku



Setiap manusia sejatinya terlahir sebagai seorang pemimpin, menjadi seorang pemimpin tidak hanya memerlukan ilmu pengetahuan dan pengalaman semata, tapi tentunya harus mempunyai sikap yang dapat dipercaya menjadi sosok seorang pemimpin, dan kriteria itu semua setidaknya bisa kita lihat dalam perjalanan karier, lingkungan hidupnya serta pendidikannya yang di tempuh. Saat ini Indonesia tidak hanya memerlukan sosok pemimpin yang hanya memiliki intelektual dan pengalaman yang banyak, tapi bagaimana sosok pemimpin ini nantinya benar benar dapat membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Dari banyaknya sosok yang saat ini di Idolakan menjadi seorang pemimpin (Presiden) di Negara kita, saya tertarik dengan seseorang yang bernama Moh. Mahfud atau orang mengenal namanya sebagai Mahfud MD
Perjalanan karier pekerjaan dan jabatan Mahfud MD termasuk langka dan tidak lazim karena begitu luar biasa. Bagaimana tidak, dimulai dari karier sebagai akademisi kemudian secara luar biasa mengecap jabatan penting dan strategis secara berurutan pada tiga cabang kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Disela-sela kesibukannya dulu sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD selalu menyempatkan waktunya untuk mengajar, biasanya di hari Sabtu dan Minggu. Mahfud terbiasa dengan kondisi demikian, sebab dari awal karier, Mahfud memang berkeinginan menjadi pengajar, jiwa yang dimiliki adalah jiwa untuk mengajar.
Melihat sikap dan karakter yang tumbuh dalam jiwa seorang Mahfud MD kemudian saya berkeyakinan dia mampu memimpin bangsa ini menuju negara yang di cita-citakan bersama yakni negara kesejahteraan yang mengedepankan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Biografi Moh. Mahfud MD.

Mahfud MD terlahir dengan nama lengkap Mohammad Mahfud dilahirkan pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang Madura, Mahfud MD terlahir dari pasangan Mahmodin dan Suti Khadidjah. Mahmodin, ketika Mahfud berusia dua bulan, keluarga Mahmodin berpindah ke daerah asalnya yaitu Pamekasan dan ditempatkan di Kecamatan Waru. Di sanalah Mahfud menghabiskan masa kecilnya dan memulai pendidikan sampai usia 12 tahun. Dimulai belajar dari surau sampai lulus SD.
Mahfud MD adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Latar kehidupan keluarganya yang berada di lingkungan taat beragama membuat pemberian nama arab tersebut penting. Khusus bagi Mahfud, arti dari nama “Mahfud” sendiri adalah “orang yang terjaga”. Adapun inisial MD di belakang nama Mahfud adalah singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin. Tambahan nama inisial itu semula hanya dipakai di kelas, tetapi pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP (PGA), inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi, dan Guru Besar. Berangkat dari situlah nama resmi Mahfud menjadi Moh. Mahfud MD.
            Secara umum, rangkaian pendidikan Mahfud MD merupakan kombinasi dari pendidikan agama dan pendidikan umum. Pagi hari menjalani pendidikan Sekolah Dasar, belajar di madrasah ibtidaiyah pada sorenya, dan menghabiskan waktu malam hingga pagi di surau. Setamat dari SD, Mahfud dikirim belajar ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan. Pada masa itu, ada kebanggaan tersendiri bagi orang Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz, kyai atau guru agama. Lulus dari PGA setelah 4 tahun belajar, Mahfud terpilih mengikuti Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama yang terletak di Yogyakarta. Sekolah ini merekrut luluan terbaik dari PGA dan MTs seluruh Indonesia.
Mahfud rencananya hendak melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an) di Mesir. Sementara menunggu persetujuan beasiswa, Mahfud coba-coba kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Sastra (Jurusan Sastra Arab) UGM. Tapi rupanya karena telanjur betah di Fakultas Hukum, Mahfud memutuskan meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang dirangkapnya dengan kuliah di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada Jurusan Sastra Arab. Mengingat kemampuan ekonomi orang tua yang pas-pasan, Mahfud giat mencari biaya kuliah sendiri termasuk gigih mendapatkan beasiswa. Hal itu tidak sulit bagi Mahfud, melalui tulisan-tulisan yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Masa Kini, Mahfud berhasil mendapatkan honorarium.
Sejak SMP MD, Mahfud remaja tertarik menyaksikan hingar bingar kampanye pemilu. Disitulah bibit-bibit kecintaannya pada politik terlihat. Pada masa kuliah kecintaannya pada politik semakin membuncah dan disalurkannya dengan malang melintang diberbagai organisasi kemahasiswaan intra universiter seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan Pers Mahasiswa. Sebelumnya Mahfud juga aktif di organisasi ekstra universiter Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Namun dari beberapa organisasi intra kampus yang pernah ia ikuti, hanya Lembaga Pers Mahasiswa yang paling ia tekuni. Sejarah mencatat ia pernah menjadi pimpinan di majalah Mahasiswa Keadilan (tingkat fakultas hukum), ia juga memimpin Majalah Mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang pernah dipimpinnya pernah dibreidel sampai dua kali.
Lulus dari Fakultas Hukum pada tahun 1983, Mahfud tertarik untuk ikut bekerja, mengajar di almamaternya sebagai dosen dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sekian waktu menggeluti ilmu hukum, Mahfud menemukan berbagai kegundahan terkait peran dan posisi hukum. Kekecewaannya pada hukum mulai terungkap, Mahfud menilai hukum selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Berangkat dari kegundahan itu, Mahfud termotivasi ingin belajar Ilmu Politik. Menurut Mahfud, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Dia melihat bahwa energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum sehingga ia ingin belajar ilmu politik. Oleh sebab itu, ketika datang peluang memasuki Program Pasca Sarjana S-2 dalam bidang Ilmu Politik pada tahun1985 di UGM, Mahfud tanpa ragu-ragu segera mengikutinya.
Selepas lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud kemudian mengikuti pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993). Disertasi doktornya tentang “Politik Hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.
Pendidikan S-3 di UGM, diselesaikannya hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Selain selalu tekun membaca dan menulis di semua tempat untuk keperluan disertasinya, ketiga promoter Mahfud mengirim Mahfud ke Amerika Serikat, tepatnya ke Columbia University (New York) dan Northern Illinois University (DeKalb) untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun.

Akademisi
            Mahfud MD memulai karier sebagai dosen di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada tahun 1984 dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada 1986-1988, Mahfud dipercaya memangku jabatan Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara FH UII, dan berlanjut dilantik menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Hukum UII dari 1988 hingga 1990. Pada tahun 1993, gelar Doktor telah diraihnya dari Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Berikutnya, jabatan sebagai Direktur Karyasiswa UII dijalani dari 1991 sampai dengan 1993. Pada 1994, UII memilihnya sebagai Pembantu Rektor I untuk masa jabatan 1994-1998. Di tahun 1997-1999, Mahfud tercatat sebagai Anggota Panelis Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Mahfud sempat juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UII pada 1998-2001. Dalam rentang waktu yang sama yakni 1998-1999 Mahfud juga menjabat sebagai Asesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Puncaknya, Mahfud MD dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor bidang Politik Hukum pada tahun 2000, dalam usia masih relatif muda yakni 40 tahun.
            Mahfud tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih derajat Doktor pada tahun 1993. Didukung oleh karya tulisnya yang sangat banyak, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun makalah ilmiah, dari Lektor Madya, Mahfud melompat lagi, langsung menjadi Guru Besar. Jika dihitung dari awal menjadi dosen sampai meraih gelar guru besar, Mahfud hanya membutuhkan waktu 12 tahun. Hal itu menjadi sesuatu yang cukup berkesan baginya. Sebab umumnya seseorang bisa merengkuh gelar Guru Besar minimal membutuhkan waktu 20 tahun sejak awal kariernya. Dengan rentang waktu tersebut, Mahfud memegang rekor tercepat dalam sejarah pencapaian gelar Guru Besar. Pencapain itu diraih Mahfud saat usianya baru menginjak 41 tahun. Tidak heran jika pada waktu itu, Mahfud tergolong sebagai Guru Besar termuda di zamannya.

Eksekutif
            Karier Mahfud MD kian cemerlang, tidak saja dalam lingkup akademik tetapi masuk ke jajaran birokrasi eksekutif di level pusat ketika di tahun 1999-2000 didaulat menjadi Pelaksana Tugas Staf Ahli Menteri Negara Urusan HAM (Eselon I B). Berikutnya pada tahun 2000 diangkat pada jabatan Eselon I A sebagai Deputi Menteri Negara Urusan HAM, yang membidangi produk legislasi urusan HAM. Belum cukup sampai di situ, kariernya terus menanjak pada 2000-2001 saat mantan aktivis HMI ini dikukuhkan sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Persatuan Nasional di era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Selain menjadi Menteri Pertahanan, Mahfud sempat pula merangkap sebagai Menteri Kehakiman dan HAM.

Legislatif
            Ingin mencoba dunia baru, Mahfud MD memutuskan terjun ke politik praktis. Mahfud sempat menjadi Ketua Departemen Hukum dan Keadilan DPP Partai Amanat Nasional (PAN) di awal-awal partai itu dibentuk dimana Mahfud juga turut membidani. Sempat memutuskan untuk kembali menekuni dunia akademis dengan keluar dari PAN dan kembali ke kampus. Meski memulai karier di PAN, Mahfud tak meneruskan langkahnya di partai yang dia deklarasikan itu, justru kemudian bergabung dengan mentornya, di Partai Kebangkitan Bangsa. Tidak menunggu lama, Mahfud dipercaya menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2002-2005. Di tengah-tengah kesibukan berpolitik itu, Universitas Islam Kadiri (Uniska) meminang Mahfud MD untuk menjadi Rektor periode 2003-2006. Kiprahnya terus berlanjut, kali ini di dunia politik, Mahfud terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2008. Mahfud MD bertugas di Komisi III DPR sejak 2004.bersama koleganya di Fraksi Kebangkitan Bangsa. Namun sejak 2008, Mahfud MD berpindah ke Komisi I DPR. Di samping menjadi anggota legislatif, sejak 2006 Mahfud juga menjadi Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham).

Yudikatif
            Belum puas berkarier di eksekutif dan legislatif, Mahfud MD mantap menjatuhkan pilihan mengabdi di ranah yudikatif untuk menjadi hakim konstitusi melalui jalur DPR. Pelantikannya menjadi Hakim Konstitusi terhitung sejak 1 April 2008, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 14/P/Tahun 2008, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2008. Selanjutnya, pada pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang berlangsung terbuka di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 19 Agustus 2008, Mahfud MD terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2011 menggantikan ketua sebelumnya, Jimly Asshiddiqie.

Selasa, 29 April 2014

Fenomena KDRT Di Indonesia

Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menunjukkan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun.  Komnas Perempuan dan Yayasan Mitra Perempuan memiliki data bahwa sepanjang tahun 2006 angka KDRT di Indonesia dipastikan meningkat dibandingkan tahun 2005. Temuan ini tentu amat mengejutkan mengingat telah diratifikasikannya UU No.23 Tahun 2004 tentang undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Mereka melaporkan hasil penelitian tentang kondisi KDRT di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat jumlah sejak tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah tersebut meningkat 61% pada tahun 2002 (5.163 kasus). Pada tahun 2003, kasus meningkat kembali 66% menjadi 7.787 kasus, lalu tahun 2004 meningkat 56% (14.020) dan tahun 2005 meningkat 69% (20.391 kasus). Pada tahun 2006 penambahan diperkirakan 70%.
 Propinsi Jawa timur sendiri secara nasional menduduki peringkat 3 terbesar jumlah kasus KDRT setelah Jawa Barat dan Kalimantan. Selama tahun 2009 kasus KDRT di Jawa Timur mencapai 1200 kasus. Menurut Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Jawa Timur, jumlah kasus KDRT terbanyak di Jawa Timur yaitu 347 kasus di Kabupaten Malang, 128 kasus di Kabupaten Sidoarjo dan 119 kasus di kabupaten Situbondo. Pada Tahun 2010, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menerima laporan 641 kasus KDRT di Jawa Timur. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah kasus yang tidak terlapor, sehingga di perkirakan akan mencapai jumlah yang lebih besar dibandingkan tahun 2009. Di Kabupaten Nganjuk Jawa timur jumlah kasus KDRT sendiri belum bisa ditetapkan. Namun demikian, data dari Kantor Pengadilan Agama (PA) Nganjuk memperlihatkan angka kumulatif kasus perceraian yang semakin meningkat pada tahun 2010. Pada awal tahun 2010 sendiri terdapat sekitar 1000 pasangan suami istri yang mengajukan perceraian dan  baru mencapai 97 kasus yang diperkarakan. Berdasarkan data, jumlah perceraian tertinggi terjadi pada bulan pebruari, maret dan juni. Menurut Siti Nuraini ( Sekretaris PA Nganjuk), perkara cerai gugat dari pihak istri yang mengajukan perceraian lebih tinggi dibandingkan pihak suami. Menurut Nuraini, pemicu tingkat perceraianpun banyak jenisnya,  seperti faktor perselisihan dan perbedaan pendapat menjadi penyebab yang paling utama. Sebagian karena suami tidak bertanggungjawab serta kekerasan dalam rumah tangga.
Data lainnya, selama tahun 2011 (hingga 10 Desember) tercatat bahwa Mitra Perempuan WCC memberikan bantuan dan layanan kepada 209 perempuan yang untuk pertamakali mengontak Mitra Perempuan dengan masalah kekerasan yang dialaminya, ditambah dengan pendampingan dan layanan kepada perempuan yang melanjutkan kasus tahun lalu. Mereka bertempat tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan daerah lainnya. Diantaranya 67,46% bantuan diberikan melalui WCC Jakarta; sedangkan 20,57 % melalui WCC Tangerang dan 11,96% melalui WCC Bogor. Data ini belum termasuk 1.403 orang yang mengontak Hotline untuk mendapat informasi praktis tentang Undang-undang, LSM, para penegak hukum, layanan medis, dan lain-lain.
Semakin meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia tidak terlepas dari banyak factor. Faktor budaya, kehidupan sosial dan ekonomi dan kondisi bangsa dan negara saat ini memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak pada meningkatnya angka kekerasan tadi. Meski upaya-upaya sudah banyak dilakukan untuk menekan angka tersebut, namun rupanya belum terlalu signifikan mengurangi jumlah kasusnya.
Meskipun kekerasan dapat pula dialami oleh pria, namun perempuan merupakan individu yang teramat rentan menjadi korban. Pada kasus perempuan sebagai korban,  pelaku lebih banyak adalah suami atau mantan suami. Kekerasan dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, emosional/psikologis, seksual, ekonomi dan social. Dampak kekerasan dalam rumah tangga bagi perempuan adalah : (1) Terus menerus mengalami ketakutan dan kecemasan, hilangnya rasa percaya diri, hilang kemampuan untuk bertindak dan rasa tak berdaya ; (2) Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri ; (3) Trauma fisik berat ; (4) Trauma fisik dalam kehamilan yang beresiko terhadap ibu dan janin ; (5) Kehilangan akal sehat atau gangguan kesehatan jiwa ; (6) Curiga terus menerus dan tidak mudah percaya pada orang lain/paranoid ; (7) Gangguan psikis berat meliputi depresi, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, kurang nafsu makan, kelelahan kronis, ketagihan alcohol dan obat-obatan terlarang.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat menjadi peristiwa traumatik yang jika tidak teratasi secara sehat akan menjadi gangguan trauma psikologis. Namun sebaliknya, apabila diatasi secara sehat dan efektif, trauma psikologis selain dapat dipulihkan juga akan membuka kemungkinan untuk tumbuhnya kemampuan individu dalam meminimalisasi dan mengatasi dampak buruk suatu bencana (resiliensi). Oleh sebab itu penting bagi korban KDRT untuk mendapatkan pendampingan baik secara hukum, medis dan psikologis. Banyak pihak yang akan terlibat dalam penatalaksanaan korban kekerasan tersebut. Pada intinya semua kegiatan atau program akan terarah pada memperkuat resiliensi perempuan korban kekerasan agar dapat menyelesaikan problemnya secara mandiri dan konstruktif. Bahwa pengalaman tidak menyenangkan itu akan terus ada, dan perempuan harus menyadari bahwa mereka tidak layak untuk mengalami (kekerasan) kembali.