Selasa, 29 April 2014

Fenomena KDRT Di Indonesia

Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menunjukkan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun.  Komnas Perempuan dan Yayasan Mitra Perempuan memiliki data bahwa sepanjang tahun 2006 angka KDRT di Indonesia dipastikan meningkat dibandingkan tahun 2005. Temuan ini tentu amat mengejutkan mengingat telah diratifikasikannya UU No.23 Tahun 2004 tentang undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Mereka melaporkan hasil penelitian tentang kondisi KDRT di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat jumlah sejak tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah tersebut meningkat 61% pada tahun 2002 (5.163 kasus). Pada tahun 2003, kasus meningkat kembali 66% menjadi 7.787 kasus, lalu tahun 2004 meningkat 56% (14.020) dan tahun 2005 meningkat 69% (20.391 kasus). Pada tahun 2006 penambahan diperkirakan 70%.
 Propinsi Jawa timur sendiri secara nasional menduduki peringkat 3 terbesar jumlah kasus KDRT setelah Jawa Barat dan Kalimantan. Selama tahun 2009 kasus KDRT di Jawa Timur mencapai 1200 kasus. Menurut Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Jawa Timur, jumlah kasus KDRT terbanyak di Jawa Timur yaitu 347 kasus di Kabupaten Malang, 128 kasus di Kabupaten Sidoarjo dan 119 kasus di kabupaten Situbondo. Pada Tahun 2010, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menerima laporan 641 kasus KDRT di Jawa Timur. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah kasus yang tidak terlapor, sehingga di perkirakan akan mencapai jumlah yang lebih besar dibandingkan tahun 2009. Di Kabupaten Nganjuk Jawa timur jumlah kasus KDRT sendiri belum bisa ditetapkan. Namun demikian, data dari Kantor Pengadilan Agama (PA) Nganjuk memperlihatkan angka kumulatif kasus perceraian yang semakin meningkat pada tahun 2010. Pada awal tahun 2010 sendiri terdapat sekitar 1000 pasangan suami istri yang mengajukan perceraian dan  baru mencapai 97 kasus yang diperkarakan. Berdasarkan data, jumlah perceraian tertinggi terjadi pada bulan pebruari, maret dan juni. Menurut Siti Nuraini ( Sekretaris PA Nganjuk), perkara cerai gugat dari pihak istri yang mengajukan perceraian lebih tinggi dibandingkan pihak suami. Menurut Nuraini, pemicu tingkat perceraianpun banyak jenisnya,  seperti faktor perselisihan dan perbedaan pendapat menjadi penyebab yang paling utama. Sebagian karena suami tidak bertanggungjawab serta kekerasan dalam rumah tangga.
Data lainnya, selama tahun 2011 (hingga 10 Desember) tercatat bahwa Mitra Perempuan WCC memberikan bantuan dan layanan kepada 209 perempuan yang untuk pertamakali mengontak Mitra Perempuan dengan masalah kekerasan yang dialaminya, ditambah dengan pendampingan dan layanan kepada perempuan yang melanjutkan kasus tahun lalu. Mereka bertempat tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan daerah lainnya. Diantaranya 67,46% bantuan diberikan melalui WCC Jakarta; sedangkan 20,57 % melalui WCC Tangerang dan 11,96% melalui WCC Bogor. Data ini belum termasuk 1.403 orang yang mengontak Hotline untuk mendapat informasi praktis tentang Undang-undang, LSM, para penegak hukum, layanan medis, dan lain-lain.
Semakin meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia tidak terlepas dari banyak factor. Faktor budaya, kehidupan sosial dan ekonomi dan kondisi bangsa dan negara saat ini memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak pada meningkatnya angka kekerasan tadi. Meski upaya-upaya sudah banyak dilakukan untuk menekan angka tersebut, namun rupanya belum terlalu signifikan mengurangi jumlah kasusnya.
Meskipun kekerasan dapat pula dialami oleh pria, namun perempuan merupakan individu yang teramat rentan menjadi korban. Pada kasus perempuan sebagai korban,  pelaku lebih banyak adalah suami atau mantan suami. Kekerasan dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, emosional/psikologis, seksual, ekonomi dan social. Dampak kekerasan dalam rumah tangga bagi perempuan adalah : (1) Terus menerus mengalami ketakutan dan kecemasan, hilangnya rasa percaya diri, hilang kemampuan untuk bertindak dan rasa tak berdaya ; (2) Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri ; (3) Trauma fisik berat ; (4) Trauma fisik dalam kehamilan yang beresiko terhadap ibu dan janin ; (5) Kehilangan akal sehat atau gangguan kesehatan jiwa ; (6) Curiga terus menerus dan tidak mudah percaya pada orang lain/paranoid ; (7) Gangguan psikis berat meliputi depresi, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, kurang nafsu makan, kelelahan kronis, ketagihan alcohol dan obat-obatan terlarang.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat menjadi peristiwa traumatik yang jika tidak teratasi secara sehat akan menjadi gangguan trauma psikologis. Namun sebaliknya, apabila diatasi secara sehat dan efektif, trauma psikologis selain dapat dipulihkan juga akan membuka kemungkinan untuk tumbuhnya kemampuan individu dalam meminimalisasi dan mengatasi dampak buruk suatu bencana (resiliensi). Oleh sebab itu penting bagi korban KDRT untuk mendapatkan pendampingan baik secara hukum, medis dan psikologis. Banyak pihak yang akan terlibat dalam penatalaksanaan korban kekerasan tersebut. Pada intinya semua kegiatan atau program akan terarah pada memperkuat resiliensi perempuan korban kekerasan agar dapat menyelesaikan problemnya secara mandiri dan konstruktif. Bahwa pengalaman tidak menyenangkan itu akan terus ada, dan perempuan harus menyadari bahwa mereka tidak layak untuk mengalami (kekerasan) kembali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar