Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menunjukkan
jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Komnas Perempuan dan
Yayasan Mitra Perempuan memiliki data bahwa sepanjang tahun 2006 angka KDRT di
Indonesia dipastikan meningkat dibandingkan tahun 2005. Temuan ini tentu amat
mengejutkan mengingat telah diratifikasikannya UU No.23 Tahun 2004 tentang
undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Mereka melaporkan hasil
penelitian tentang kondisi KDRT di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat jumlah
sejak tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah tersebut meningkat 61% pada
tahun 2002 (5.163 kasus). Pada tahun 2003, kasus meningkat kembali 66% menjadi
7.787 kasus, lalu tahun 2004 meningkat 56% (14.020) dan tahun 2005 meningkat
69% (20.391 kasus). Pada tahun 2006 penambahan diperkirakan 70%.
Propinsi Jawa timur sendiri secara nasional menduduki
peringkat 3 terbesar jumlah kasus KDRT setelah Jawa Barat dan Kalimantan.
Selama tahun 2009 kasus KDRT di Jawa Timur mencapai 1200 kasus. Menurut Kepala
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Jawa Timur, jumlah kasus
KDRT terbanyak di Jawa Timur yaitu 347 kasus di Kabupaten Malang, 128 kasus di
Kabupaten Sidoarjo dan 119 kasus di kabupaten Situbondo. Pada Tahun 2010,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menerima laporan 641 kasus KDRT di Jawa
Timur. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah kasus yang tidak terlapor,
sehingga di perkirakan akan mencapai jumlah yang lebih besar dibandingkan tahun
2009. Di Kabupaten Nganjuk Jawa timur jumlah kasus KDRT sendiri belum bisa
ditetapkan. Namun demikian, data dari Kantor Pengadilan Agama (PA) Nganjuk
memperlihatkan angka kumulatif kasus perceraian yang semakin meningkat pada
tahun 2010. Pada awal tahun 2010 sendiri terdapat sekitar 1000 pasangan suami
istri yang mengajukan perceraian dan baru mencapai 97 kasus yang
diperkarakan. Berdasarkan data, jumlah perceraian tertinggi terjadi pada bulan
pebruari, maret dan juni. Menurut Siti Nuraini ( Sekretaris PA Nganjuk),
perkara cerai gugat dari pihak istri yang mengajukan perceraian lebih tinggi
dibandingkan pihak suami. Menurut Nuraini, pemicu tingkat perceraianpun banyak
jenisnya, seperti faktor perselisihan dan perbedaan pendapat menjadi
penyebab yang paling utama. Sebagian karena suami tidak bertanggungjawab serta
kekerasan dalam rumah tangga.
Data lainnya, selama tahun 2011 (hingga 10 Desember)
tercatat bahwa Mitra Perempuan WCC memberikan bantuan dan layanan kepada 209
perempuan yang untuk pertamakali mengontak Mitra Perempuan dengan masalah
kekerasan yang dialaminya, ditambah dengan pendampingan dan layanan kepada
perempuan yang melanjutkan kasus tahun lalu. Mereka bertempat tinggal di
Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan daerah lainnya. Diantaranya 67,46%
bantuan diberikan melalui WCC Jakarta; sedangkan 20,57 % melalui WCC Tangerang
dan 11,96% melalui WCC Bogor. Data ini belum termasuk 1.403 orang yang
mengontak Hotline untuk mendapat informasi praktis tentang Undang-undang, LSM,
para penegak hukum, layanan medis, dan lain-lain.
Semakin meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga di
Indonesia tidak terlepas dari banyak factor. Faktor budaya, kehidupan sosial
dan ekonomi dan kondisi bangsa dan negara saat ini memberikan kontribusi baik
secara langsung maupun tidak pada meningkatnya angka kekerasan tadi. Meski
upaya-upaya sudah banyak dilakukan untuk menekan angka tersebut, namun rupanya
belum terlalu signifikan mengurangi jumlah kasusnya.
Meskipun kekerasan dapat pula dialami oleh pria, namun
perempuan merupakan individu yang teramat rentan menjadi korban. Pada kasus
perempuan sebagai korban, pelaku lebih banyak adalah suami atau mantan
suami. Kekerasan dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik,
emosional/psikologis, seksual, ekonomi dan social. Dampak kekerasan dalam rumah
tangga bagi perempuan adalah : (1) Terus menerus mengalami ketakutan dan kecemasan,
hilangnya rasa percaya diri, hilang kemampuan untuk bertindak dan rasa tak
berdaya ; (2) Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri ; (3)
Trauma fisik berat ; (4) Trauma fisik dalam kehamilan yang beresiko terhadap
ibu dan janin ; (5) Kehilangan akal sehat atau gangguan kesehatan jiwa ; (6)
Curiga terus menerus dan tidak mudah percaya pada orang lain/paranoid ; (7)
Gangguan psikis berat meliputi depresi, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi
seksual, kurang nafsu makan, kelelahan kronis, ketagihan alcohol dan
obat-obatan terlarang.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat menjadi
peristiwa traumatik yang jika tidak teratasi secara sehat akan menjadi gangguan
trauma psikologis. Namun sebaliknya, apabila diatasi secara sehat dan efektif,
trauma psikologis selain dapat dipulihkan juga akan membuka kemungkinan untuk
tumbuhnya kemampuan individu dalam meminimalisasi dan mengatasi dampak buruk
suatu bencana (resiliensi). Oleh sebab itu penting bagi korban KDRT untuk
mendapatkan pendampingan baik secara hukum, medis dan psikologis. Banyak pihak
yang akan terlibat dalam penatalaksanaan korban kekerasan tersebut. Pada
intinya semua kegiatan atau program akan terarah pada memperkuat resiliensi
perempuan korban kekerasan agar dapat menyelesaikan problemnya secara mandiri
dan konstruktif. Bahwa pengalaman tidak menyenangkan itu akan terus ada, dan
perempuan harus menyadari bahwa mereka tidak layak untuk mengalami (kekerasan)
kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar